Senin, 10 Desember 2012

Tasawuf Rabi'ah al Adawiah


A.    Pendahuluan
Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Sudah menjadi hal yang umum sejak zaman dulu bahwa yang menjadi tokoh sufi adalah berasal dari kalangan kaum laki-laki seperti Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini, Syekh Abdul Qadir Jaelani, Abu Nawas, Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Laki-laki memang sudah sepantasnya menjadi pemimpin dan tokoh utama dalam setiap bidang. Namun teori itu tak berlaku lagi ketika muncul   seorang tokoh sufi yang berasal dari kaum wanita  yang bernama Siti Rabiatul Adawiyah.
Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
B.     Sekilas Rabiah Adawiyah
Siti Rabiah Adawiyah lahir di Basra pada tahun 105 H dan meninggal pada tahun 185 H. Siti Rabiah Al Adawiyah adalah salah seorang  perempuan sufi yang  mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Seorang wanita yang alur kehidupannya tidak seperti wanita pada umumnya, ia terisolasi dalam dunia mistisme jauh dari hal-hal duniawi. Sebgaimana yang dikemukakan oleh Ibn Khalkan saat mengutarakan biografi Rabiah Adawiyah, bahwa namanya adalah Ummul Khair Rabiah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah al-Qisiyah. Ia merupakan symbol utama paradigma kehidupan ruhani Islam pada kurun kedua hijriah.[1]
  Tidak ada sesuatu  yang lebih dicintainya di dunia yang melebihi cintanya kepada Allah. Kehidupannya seolah hanya untuk mendapatkan ridho Allah, tidak ada suatu tujuan apapun selain itu. Ia lahir di Basrah, dan merupakan budak keluarga Atik. Ia senantiasa melakukan shalat semalaman penuh. Ketika fajar muncul, ia tidur sejenak dalam shalatnya hingga fajar pergi. Diceritakan pula bahwa ketika terbangun dari pembaringannya, ia senantiasa berkata: “Wahai jiwa! Sudah seberapa sering engkau tidur, dan hingga seberapa sering lagi engkau akan tidur. Aku khawatir, jika engkau tertidur, engkau tak bangun kembali kecuali di kuburan. Itu semua adalah ancaman bagimu jika engkau mati.[2]
Menurut riwayat dari Imam Sya’rani, pada suatu masa ada seorang yang menyebut-nyebut azab siksa neraka di hadapan Rabi’ah, maka pingsanlah ia lantaran mendengar itu,
pingsan di dalam menyebut-nyebut istighfar, memohonkan ampunan Tuhan. Tiba-tiba setelah beliau siuman dari pingsannya dan sadar akan dirinya, beliaupun berkata, “Saya mesti meminta ampun lagi daripada cara minta ampun saya yang pertama.”
Beliau sejaman dengan dengan Sufyan Sauri, murid yang terkenal dari Hasan Bahsri. Pada suatu hari didengarnya Sufyan mengeluh, “Wahai sedihnya hatiku”, yaitu kesedihan sufi yang telah diwariskan oleh gurunya. Mendengar itu berkatalah Rabiah, “Kesedihan kita masih sedikit sekali! Karena kalau benar-benar kita bersedih, kita tidak ada di dunia ini lagi.”[3]
C.     Zuhud Rabi’ah al adawiah
Tingkat zuhud yang tadinya direncanakan oleh Hasan al Basri, yaitu takut dan pengharapan telah dinaikkan ole Rabi’ah kepada zuhud karena cinta,[4] dalam hal ini berarti bahwa tiada yang pantas kecuali Tuhan satu-satunya yang menjadi objek kezuhudannya (cinta yang transenden).
Konsep cinta Rabi’ah Adawiah mengantarkan kita pada wacana baru bahwa ia tidak memiliki kepentingan apapun  dalam ketaatanya terhadap Allah. Ia tidak berharap akan surga dan takut akan neraka, cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan. Cinta yang  suci murni tidaklah mengharapkan apa-apa.  ketaatan terhap Allah dilakukan semata-mata  karena Cintanya Terhadap Allah. Ini  adalah suatu tingkatan spiritual yang dianggap tingkatan tertinggi dalam tasawuf bagi orang –orang setelahnya.
Sebagian dari kalangan orientalis seperti Nicholson[5] menganggap bahwa urgensi Rabi’ah adalah kemampuanya dalam memberikan warna baru dalam memberikan kezuhudannya Islam yang sebelumnya identik dengan ketakutan sebagaimana zuhud dalam persepektif Hasan al Basri hal baru sebgaimana ditas bahwa Kosep “cinta” yang digunakan oleh manusia sebagai perantara manusia untuk melihat keindahan Allah yang Azali bahkan Rabiah juga merupakan sufi yang menembangkan lirik-lirik kecintaan terhadap Tuhan, baik melalui syair-syair atau tulisan biasa.
 Dalam suatu riwat diceritakan bahwa Sufyan al Tsauri berkata kepada Rabi’ah, “Pada tiap-tiap akidah terdapat sebuah syarat, dan pada tiap-tiap keimanan terdapat sebuah hakikat. Apa hakikat keimananmu?” lalu Rabi’ah menjawab “ aku menyembah-Nya bukan karena takut akan nerak-Nya, dan juga bukan karena surga-Nya. Sehingga aku laksana pedagang yang takut akan kerugian. Aku menyembahnya melainkan karena cinta dan rinduku kepada-Nya.
Juga dalam satu munajatnya Rabi’ah berkata ” Wahai Tuhanku, Bila aku menyembahmu sebab takut akan neraka-Mu maka bakarlah aku dengan neraka itu, bila aku menyembah-Mu karena Surga-Mu maka halangilah aku untuk mencapainya. Namun bila aku menyembah-Mu karena cinta dan kerinduanku terhadap-Mu, maka jangan halangi aku wahai Tuhanku, demi keindahan-Mu yang azali.
Cinta Murni kepada Tuhan, itulah puncak tasawuf Rabi’ah. pantun,pantun kecintaan kepada Ilahi yang kemudian banyak keluarr dari ucapan sufi yang besar setelahnya seperti fahruddin al Athar, Jalaluddin Rumi,Al Hallaj dan seterusnya telah dimulai lebih dahulu oleh Rabi’ah.
D.    Syair-syair Cinta Rabi’ah al Adawiah
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Rabiah terus-menerus menangis dan meratap. Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Secara alamiah, tangisan ini tampak tidak jelas dan tidak berasalan sama sekali, namun mengapa engkau menangis?” Rabiah menjawab, “Jauh dalam lubuk hatiku ada penyebab dan alasan bagi kesusahan dan deritaku. Tidak seorang pun dokter bisa menyembuhkan penyakit ini. Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini adalah bersatu dengan ‘Kekasih’. Dengan berduka seperti ini aku berharap semoga kelak aku akan meraih apa yang aku cari, aku berupaya meniru keadaan mereka yang benar-benar diburu oleh cinta Ilahi, agar aku tidak dipandang kurang oleh mereka.”[6]
Berikut adalah syair Rabiah Adawiyah:
Tuhanku, Sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahannam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surge-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata-mata cinta kepada-Mu, jangan halangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.[7]
Aku cinta pada-Mu dua macam cinta; cinta rindu. Dan cinta, karena Engkau berhak menerima cintaku. Adapun cinta, karena Engkau, Hanya Engkau yang aku kenang tiada lain. Adapun cinta, karena Engkau berhak menerimanya. Agar Engkau bukakan bagiku hijab, supaya aku dapat melihat Engkau. Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku. Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi-Mu sendiri.[8]
E.     Penutup
Dari berbagai uraian diatas dapat ditarik pengertian secara umum bahwa mahabbah Rabi’ah al Adawiah perpangkal pada cinta yang tampa pamrih.cinta yang demikian itu memberi sepirit tersendiri kita sebagai makluq hanyalah boleh berproses tampa harus mepedulikan efik yang ada dibalik proses tersebut.   




[1] Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakata 2008. Hlm. 100.
[2] Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakata 2008. Hlm. 101.

[3] Prof. Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta 1983. Hlm.79
[4] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Panji Mas Jakrta,cet,XII th.1986 hlm. 79
[5] Tasawuf fi Islam, diterjemahkan oleh Nuruddin Syaribah hlm. 5
[6] Sururin, M. Ag, Rabiah Al-Adawiyah Hubb Al-Ilahi, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. Hlm. 168
[7] Ibid, hlm. 170
[8] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Panji Mas Jakrta,cet,XII th.1986 hlm. 80

1 komentar: