A. Pendahuluan
Sufi adalah istilah untuk mereka
yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Sudah
menjadi hal yang umum sejak zaman dulu bahwa yang menjadi tokoh sufi adalah
berasal dari kalangan kaum laki-laki seperti Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Syekh
Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini, Syekh Abdul Qadir Jaelani, Abu
Nawas, Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Laki-laki memang sudah sepantasnya
menjadi pemimpin dan tokoh utama dalam setiap bidang. Namun teori itu tak
berlaku lagi ketika muncul seorang tokoh sufi yang berasal dari
kaum wanita yang bernama Siti Rabiatul Adawiyah.
Rabiah adalah sufi pertama yang
memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau
tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain
Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah
Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M
dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah
melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
B. Sekilas Rabiah Adawiyah
Siti Rabiah Adawiyah lahir di Basra
pada tahun 105 H dan meninggal pada tahun 185 H. Siti Rabiah Al Adawiyah adalah
salah seorang perempuan sufi yang mengabdikan seluruh hidupnya
hanya untuk beribadah kepada Allah. Seorang wanita yang alur kehidupannya tidak
seperti wanita pada umumnya, ia terisolasi dalam dunia mistisme jauh dari
hal-hal duniawi. Sebgaimana yang dikemukakan oleh Ibn Khalkan saat mengutarakan
biografi Rabiah Adawiyah, bahwa namanya adalah Ummul Khair Rabiah binti Ismail
al-Adawiyah al-Basriyah al-Qisiyah. Ia merupakan symbol utama paradigma
kehidupan ruhani Islam pada kurun kedua hijriah.[1]
Tidak ada sesuatu yang lebih dicintainya di dunia yang melebihi
cintanya kepada Allah. Kehidupannya seolah hanya untuk mendapatkan ridho Allah,
tidak ada suatu tujuan apapun selain itu. Ia lahir di Basrah, dan merupakan
budak keluarga Atik. Ia senantiasa melakukan shalat semalaman penuh. Ketika
fajar muncul, ia tidur sejenak dalam shalatnya hingga fajar pergi. Diceritakan
pula bahwa ketika terbangun dari pembaringannya, ia senantiasa berkata: “Wahai
jiwa! Sudah seberapa sering engkau tidur, dan hingga seberapa sering lagi
engkau akan tidur. Aku khawatir, jika engkau tertidur, engkau tak bangun
kembali kecuali di kuburan. Itu semua adalah ancaman bagimu jika engkau mati.[2]”
Menurut riwayat dari Imam Sya’rani,
pada suatu masa ada seorang yang menyebut-nyebut azab siksa neraka di hadapan
Rabi’ah, maka pingsanlah ia lantaran mendengar itu,
pingsan di dalam menyebut-nyebut
istighfar, memohonkan ampunan Tuhan. Tiba-tiba setelah beliau siuman dari
pingsannya dan sadar akan dirinya, beliaupun berkata, “Saya mesti meminta ampun
lagi daripada cara minta ampun saya yang pertama.”
Beliau sejaman dengan dengan Sufyan
Sauri, murid yang terkenal dari Hasan Bahsri. Pada suatu hari didengarnya
Sufyan mengeluh, “Wahai sedihnya hatiku”, yaitu kesedihan sufi yang telah
diwariskan oleh gurunya. Mendengar itu berkatalah Rabiah, “Kesedihan kita masih
sedikit sekali! Karena kalau benar-benar kita bersedih, kita tidak ada di dunia
ini lagi.”[3]
C.
Zuhud Rabi’ah al adawiah
Tingkat
zuhud yang tadinya direncanakan oleh Hasan al Basri, yaitu takut dan
pengharapan telah dinaikkan ole Rabi’ah kepada zuhud karena cinta,[4]
dalam hal ini berarti bahwa tiada yang pantas kecuali Tuhan satu-satunya yang
menjadi objek kezuhudannya (cinta yang transenden).
Konsep
cinta Rabi’ah Adawiah mengantarkan kita pada wacana baru bahwa ia tidak
memiliki kepentingan apapun dalam
ketaatanya terhadap Allah. Ia tidak berharap akan surga dan takut akan neraka,
cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan. Cinta
yang suci murni tidaklah mengharapkan
apa-apa. ketaatan terhap Allah dilakukan
semata-mata karena Cintanya Terhadap
Allah. Ini adalah suatu tingkatan
spiritual yang dianggap tingkatan tertinggi dalam tasawuf bagi orang –orang
setelahnya.
Sebagian
dari kalangan orientalis seperti Nicholson[5]
menganggap bahwa urgensi Rabi’ah adalah kemampuanya dalam memberikan warna baru
dalam memberikan kezuhudannya Islam yang sebelumnya identik dengan ketakutan
sebagaimana zuhud dalam persepektif Hasan al Basri hal baru sebgaimana ditas
bahwa Kosep “cinta” yang digunakan oleh manusia sebagai perantara manusia untuk
melihat keindahan Allah yang Azali bahkan Rabiah juga merupakan sufi yang
menembangkan lirik-lirik kecintaan terhadap Tuhan, baik melalui syair-syair
atau tulisan biasa.
Dalam suatu riwat diceritakan bahwa Sufyan al
Tsauri berkata kepada Rabi’ah, “Pada tiap-tiap akidah terdapat sebuah syarat,
dan pada tiap-tiap keimanan terdapat sebuah hakikat. Apa hakikat keimananmu?”
lalu Rabi’ah menjawab “ aku menyembah-Nya bukan karena takut akan nerak-Nya,
dan juga bukan karena surga-Nya. Sehingga aku laksana pedagang yang takut akan
kerugian. Aku menyembahnya melainkan karena cinta dan rinduku kepada-Nya.
Juga
dalam satu munajatnya Rabi’ah berkata ” Wahai Tuhanku, Bila aku menyembahmu
sebab takut akan neraka-Mu maka bakarlah aku dengan neraka itu, bila aku
menyembah-Mu karena Surga-Mu maka halangilah aku untuk mencapainya. Namun bila
aku menyembah-Mu karena cinta dan kerinduanku terhadap-Mu, maka jangan halangi
aku wahai Tuhanku, demi keindahan-Mu yang azali.
Cinta
Murni kepada Tuhan, itulah puncak tasawuf Rabi’ah. pantun,pantun kecintaan
kepada Ilahi yang kemudian banyak keluarr dari ucapan sufi yang besar
setelahnya seperti fahruddin al Athar, Jalaluddin Rumi,Al Hallaj dan seterusnya
telah dimulai lebih dahulu oleh Rabi’ah.
D.
Syair-syair Cinta Rabi’ah al Adawiah
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa
Rabiah terus-menerus menangis dan meratap. Orang-orang pun bertanya kepadanya,
“Secara alamiah, tangisan ini tampak tidak jelas dan tidak berasalan sama
sekali, namun mengapa engkau menangis?” Rabiah menjawab, “Jauh dalam lubuk
hatiku ada penyebab dan alasan bagi kesusahan dan deritaku. Tidak seorang pun
dokter bisa menyembuhkan penyakit ini. Satu-satunya obat yang dapat
menyembuhkan penyakit ini adalah bersatu dengan ‘Kekasih’. Dengan berduka
seperti ini aku berharap semoga kelak aku akan meraih apa yang aku cari, aku
berupaya meniru keadaan mereka yang benar-benar diburu oleh cinta Ilahi, agar
aku tidak dipandang kurang oleh mereka.”[6]
Berikut adalah syair Rabiah
Adawiyah:
Tuhanku, Sekiranya aku beribadah
kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahannam. Dan
sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surge-Mu, jauhkan aku
darinya. Tapi sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata-mata cinta
kepada-Mu, jangan halangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.[7]
Aku cinta pada-Mu dua macam cinta;
cinta rindu. Dan cinta, karena Engkau berhak menerima cintaku. Adapun cinta,
karena Engkau, Hanya Engkau yang aku kenang tiada lain. Adapun cinta, karena
Engkau berhak menerimanya. Agar Engkau bukakan bagiku hijab, supaya aku dapat
melihat Engkau. Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku. Pujian atas
kedua perkara itu adalah bagi-Mu sendiri.[8]
E.
Penutup
Dari berbagai uraian diatas dapat
ditarik pengertian secara umum bahwa mahabbah Rabi’ah al Adawiah perpangkal
pada cinta yang tampa pamrih.cinta yang demikian itu memberi sepirit tersendiri
kita sebagai makluq hanyalah boleh berproses tampa harus mepedulikan efik yang
ada dibalik proses tersebut.
[1]
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah Historis dan
Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakata 2008. Hlm. 100.
[2]
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah Historis dan
Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakata 2008. Hlm. 101.
[3]
Prof. Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta
1983. Hlm.79
[4]
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, Panji Mas Jakrta,cet,XII th.1986 hlm. 79
[5]
Tasawuf fi Islam, diterjemahkan oleh Nuruddin Syaribah hlm. 5
[6]
Sururin, M. Ag, Rabiah Al-Adawiyah Hubb Al-Ilahi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta 2002. Hlm. 168
[7]
Ibid, hlm. 170
[8]
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, Panji Mas Jakrta,cet,XII th.1986 hlm. 80
Mksii
BalasHapus